cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
JURNAL BIOMEDIK
ISSN : 20859481     EISSN : 2597999X     DOI : -
Core Subject : Health, Science,
JURNAL BIOMEDIK adalah JURNAL ILMIAH KEDOKTERAN yang diterbitkan tiga kali setahun pada bulan Maret, Juli, November. Tulisan yang dimuat dapat berupa artikel telaah (review article), hasil penelitian, dan laporan kasus dalam bidang ilmu kedokteran..
Arjuna Subject : -
Articles 18 Documents
Search results for , issue "Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM" : 18 Documents clear
PENENTUAN DERAJAT LUKA DALAM VISUM ET REPERTUM PADA KASUS LUKA BAKAR Kristanto, Erwin G.; Kalangi, Sonny J. R.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.3.2013.4346

Abstract

Kebutuhan masyarakat atas berbagai dokumen medikolegal kian meningkat seiring peningkatan kesadaran masyarakat atas hak hukumnya. Setiap dokter, dalam berbagai tingkat pelayanan kesehatan, diwajibkan mampu untuk memberikan pelayanan forensik dan medikolegal, khususnya visum et repertum. Visum et repertum yang dibuat seorang dokter harus dapat membantu penegakan hukum melalui kesimpulan yang sesuai dengan ilmu kedokteran dan kebutuhan penegakan hukum. Pada kasus dugaan penganiayaan yang mengakibatkan korban menderita luka bakar, maka amat penting bagi para penegak hukum untuk memperoleh pendapat ilmiah dokter mengenai derajat keparahan atau derajat luka dari korban tersebut. Pendapat ilmiah mengenai derajat luka ini akan membantu aparat penegak hukum dalam menentukan beratnya hukuman yang diancamkan pada pelaku. Kesimpulan dokter akan membawa dampak besar bagi pihak-pihak yang terlibat dalam tindak pidana tersebut, sehingga pengambilan kesimpulan yang tepat amatlah penting.
CORRELATION BETWEEN ALBUMIN CREATININE RATIO WITH THE LEFT VENTRICULAR HYPERTROPHY IN MALE CENTRALLY OBESE Wantania, Frans E.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.3.2013.4337

Abstract

Abstrak: Hipertrofi ventrikel kiri (LVH) merupakan faktor risiko independen untuk kejadian kardiovaskular. Penelitian akhir-akhir ini memperlihatkan korelasi antara rasio albumin kreatinin (ACR) dan massa ventrikel kiri (LVM) pada pasien hipertensi, namun penelitian sebelumnya memperlihatkan LVH sering ditemukan pada laki-laki dengan obesitas sentral tanpa disertai hipertensi. Tujuan penelitian ini untuk menentukan korelasi antara ACR dan LVH pada laki-laki dengan obesitas sentral. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dan dilakukan di Bagian Jantung dan Pembuluh Darah RS Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. Subyek penelitan berjumlah 33 orang laki-laki berusia 20-35 tahun dengan obesitas sentral, tanpa disertai diabetes melitus atau hipertensi. LVM ditentukan dengan menggunakan M-Mode dan 2D echocardiogram sedangkan ACR diukur dengan alat Vitros 950IRC. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pada sebagian besar subyek terdapat peningkatan LVM. Terdapat korelasi positif antara lingkar perut dan peningkatan LVM (r = 0,801; P < 0,001), serta antara lingkar perut dan ACR (r = 0,691; P < 0,001). Juga terdapat korelasi positif antara ACR dan LVM  (r = 0,749; P < 0,001). Simpulan: Terdapat korelasi positif antara rasio albumin kreatinin dan massa ventrikel kiri yang diukur dengan M-Mode dan 2D ekokardiogram pada laki-laki dengan obesitas sentral. Diharapkan rasio albumin kreatinin dapat dimanfaatkan untuk deteksi dini hipertrofi ventrikel kiri pada laki-laki obes. Kata kunci: rasio albumin kretinin, massa ventrikel kiri, obesitas sentral.     Abstract: Left ventricular hypertrophy (LVH) is an independent risk factor for cardiovascular events. Recent study shows the correlation between the albumin creatinine ratio (ACR) and the left ventricle mass in hypertensive patients. However, our previous study showed that LVH was common in male central obesity without hypertension. The aim of this study was to determine the correlation between ACR and the LVH in male central obesity. This was a cross-sectional study conducted at the Department of Cardiology and Vascular Medicine of Prof Dr. R.D. Kandou Hospital Manado. The subjects were 33 males aged 20-35 years with central obesity, but without diabetes or hypertension. The left ventricular mass (LVM) was determined by using M-Mode and two-dimension echocardiogram. The albumin creatinine ratio was measured by using Vitros 950IRC instruments. The results showed that most of the subjects had an increase of left ventricular mass.  There were positive correlations between waist circumference and the increase of LVM (r = 0.801; P < 0.001) as well as between waist circumference and ACR (r = 0.691; P < 0.001). We found a positive correlation between ACR with the LVM in centrally obese males (r = 0.749; P < 0.001). Conclusion: There was a positive correlation between the albumin creatinine ratio with the left ventricular mass using M-Mode and the 2D echocardiogram in centrally obese males. The albumin creatinine ratio may be helpful for the early detection of LVH in obese males. Keywords: albumin creatinine ratio, left ventricular mass, central obesity.
HISTOFISIOLOGI RETINA Wangko, Sunny
Jurnal Biomedik : JBM Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.3.2013.4342

Abstract

Bola mata orang dewasa berdiameter sekitar 2,5 cm. Dari seluruh permukaan bola mata, hanya 1/6 bagian anterior yang tampak sedangkan 5/6 bagian posterior terletak dan terlindung di dalam ruang orbita. Secara histologik, dinding bola mata tersusun oleh 3 lapisan yaitu tunika fibrosa, tunika vaskulosa (uvea), dan tunika nervosa (retina). Retina merupakan tempat reseptor visual dengan tiga lapisan utama neuron retina yang dipisahkan oleh dua zona dimana terjadi sinaps, yaitu lapisan sinaps luar dan dalam. Ketiga lapisan ini (searah dengan input visualnya) ialah: lapisan sel fotoreseptor, lapisan sel bipolar, dan lapisan sel ganglion. Juga terdapat sel horisontal  dan sel amakrin; keduanya membentuk jalur lateral untuk mengatur sinyal yang  dihantarkan sepanjang jalur sel fotoreseptor ke sel bipolar dan ke sel ganglion.
LATIHAN FISIK PADA FRAILTY SYNDROME Gessal, Joudy; Utari, Widya
Jurnal Biomedik : JBM Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.3.2013.4333

Abstract

Abstract: Frailty Syndrome (FS) is a geriatric syndrome characterized by decreases of functional ability and adaptation due to multi-system functional degradation, and an increase of susceptibility to a variety of pressures, resulting in a decrease of functional performance and health status. FS occurs in 30% people over 80 years and in 7% over 65 years. The incidences of FS in females were higher than in males due to the females’ smaller/lower/less body mass; therefore, loss of muscle mass due to aging process is faster. Anorexia, sarcopenia, immobilization, atherosclerosis, balance disorder, depression, and cognitive disorders are conditions that can lead to the occurences of FS. Although FS increases the morbidity and accelerates the mortality, the right type of exercise can overcome this syndrome and improves the quality of life. Keywords: Frailty syndrome, geriatric, quality of life.     Abstrak: Frailty Syndrome (FS) adalah suatu sindroma geriatrik dengan karakteristik berkurangnya kemampuan fungsional dan fungsi adaptasi yang diakibatkan oleh degradasi fungsi berbagai sistem dalam tubuh, serta meningkatnya kerentanan terhadap berbagai macam tekanan; kesemuanya ini menurunkan performa fungsional dan status kesehatan seseorang. Frailty Syndrome terjadi pada 30% populasi di atas usia 80 tahun dan 7% pada populasi usia di atas 65 tahun. Insiden pada perempuan lebih tinggi oleh karena perempuan memiliki massa tubuh yang lebih kecil daripada laki-laki sehingga kehilangan massa otot lebih cepat terjadi pada proses aging. Anoreksia, sarkopenia, imobilisasi, aterosklerosis, gangguan keseimbangan, depresi dan gangguan kognitif merupakan kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya FS. Walaupun FS menyebabkan peningkatan morbiditas dan percepatan terjadinya mortalitas, latihan yang tepat dapat mengatasi sindroma dan meningkatkan kualitas hidup. Kata kunci: frailty Syndrome, geriatrik, kualitas hidup.
MUKOSA OLFAKTORIA Wangko, Sunny
Jurnal Biomedik : JBM Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.3.2013.4347

Abstract

Kavum nasi merupakan sepasang ruangan yang dipisahkan oleh septum terdiri dari tulang rawan dan tulang. Ruangan-ruangan tersebut berbentuk memanjang dengan dasar melebar, terletak pada palatum durum dan palatum mole. Bagaian apeks menyempit ke arah fosa kranialis anterior. Rangka kavum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang terletak di bagian tengah tengkorak, kecuali sebagian kecil di sebelah anterior yaitu hidung bagian luar. Ruangan kavum nasi terdiri atas tiga regio: vestibulum nasi, regio respiratoria dan regio olfaktoria. Vestibulum nasi adalah bagian kavum nasi yang berdilatasi tepat di bagian dalam lubang hidung dan dilapisi oleh kulit. Regio respiratoria merupakan bagian terbesar kavum nasi (sekitar 2/3 bagian sebelah inferior) dan dilapisi oleh epitel respiratoria. Regio olfaktoria terletak di apeks (1/3 bagian atas) kavum nasi dan dilapisi oleh mukosa olfaktoria yang merupakan indra penghidu.
KHASIAT ALOE VERA DAN MADU TOPIKAL PADA RE-EPITELISASI DAN PEMBENTUKAN JARINGAN GRANULASI LUKA EKSISI KULIT TELINGA KELINCI Kalangi, Sonny J. R.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.3.2013.4338

Abstract

Abstract: There are still conflicting opinions about the benefits of aloe vera and honey in accelerating wound re-epithelialization. This study aimed to compare the efficacy of the topical application of honey, aloe vera, and normal saline solution on re-epithelialization and granulation tissue formation on skin wound healing. Six white rabbits were used for evaluation. Four full-thickness excisional wounds were made on the interior surface of each ear with a 6-mm tissue punch. The forty-eight wounds were treated either with aloe vera, honey, or normal saline, or left untreated (as control group). On day 7 after treatment, the wound tissues were processed for histological examination. Histological cross sections, stained with hematoxylin-eosin, were used for a quantitative evaluation of re-epithelialization and granulation tissue formation. Re-epithelialization was evaluated by measuring the distance of epithelial gaps. Granulation tissue formation was followed-up by measuring the height of the granulation tissue, the distance of granulation tissue gaps, the total lateral-medial distance of granulation tissue, and by calculating the value of granulation tissue volume. The values of the acceleration rate of the re-epithelialization were found to be statistically significant (P < 0.05): topical aloe vera (P = 0.003) and honey (P = 0.004). Except for the height of the granulation tissue (P = 0.054), all other values of the tissues showed results which were significantly different. The acceleration of the formation of the granulation tissue found in the tissue treated with aloe vera and honey generated in the medio-lateral direction toward to the center of the wound. Conclusion: The re-epithelialization processes and the formation of the granulation tissue in the full-thickness wounds performed on the rabbit ears were significantly increased by the topical treatment of aloe vera or honey. The treatment with aloe vera on those healing processes had the same effectiveness as that of honey. Keywords: aloe vera, honey, re-epithelialization, granulation tissue formation     Abstrak: Aloe vera dan madu dianggap dapat mempercepat re-epitelisasi luka sekalipun masih terdapat beberapa perbedaan pendapat. Penelitian ini bertujuan membandingkan khasiat aloe vera, madu, dan larutan garam fisiologis yang diberikan secara topikal dalam re-epitelisasi dan pembentukan jaringan granulasi pada proses penyembuhan luka eksisi kulit telinga kelinci. Sebanyak 6 ekor kelinci putih jantan dipakai sebagai sampel. Pada telinga kelinci dibuat luka eksisi sedalam tebal kulit berbentuk bundar dengan diameter 6 mm. Setiap telinga dibuat empat buah luka pada permukaan dalam telinga. Luka kemudian mendapat perlakuan pemberian aplikasi topikal larutan NaCl 0,9%, madu, dan aloe vera, serta kontrol yang tidak diobati. Tujuh hari kemudian dilakukan biopsi pada sediaan luka. Jaringan diproses menjadi sediaan histologik dan dipulas dengan hematoksilin eosin untuk penilaian secara kuantitatif terhadap proses re-epitelisasi dan pembentukan jaringan granulasi. Re-epitelisasi dinilai dengan cara mengukur jarak celah epitel. Pembentukan jaringan granulasi dinilai dengan cara mengukur tinggi jaringan granulasi, jarak celah granulasi, total jarak lateral-medial (lebar) jaringan granulasi, serta perhitungan besar volume jaringan granulasi. Ditemukan percepatan re-epitelisasi yang bermakna secara statistik (P < 0,05) pada olesan dengan aloe vera (P = 0,003) dan madu (P = 0,004). Pada pembentukan jaringan granulasi kecuali tinggi jaringan granulasi yang tidak berbeda bermakna (P = 0,054) semuanya menunjukkan hasil yang berbeda bermakna secara statistik. Percepatan pembentukan jaringan granulasi yang ditemukan pada olesan aloe vera dan madu berupa proses pembentukan jaringan granulasi dengan arah lateral-medial menuju pusat luka. Simpulan: Re-epitelisasi dan pembentukan jaringan granulasi luka eksisi full-thickness pada telinga kelinci secara bermakna meningkat oleh pemberian aloe vera dan madu secara topikal; juga pemberian aloe vera sama efektifnya dengan madu dalam re-epitelisasi dan pembentukan jaringan granulasi. Kata kunci: aloe vera, madu, re-epitelisasi, pembentukan jaringan granulasi.
IDENTIFIKASI IRIS OPSI IDENTIFIKASI BIOMETRIK Kristanto, Erwin G.; Rompas, Elisa; Wangko, Sunny
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.3.2013.4343

Abstract

Perkembangan teknologi dalam kehidupan sehari-hari membuat timbulnya kebutuhan untuk membuktikan pada mesin dan sistem bahwa seorang individu ialah pemilik identitas yang ditampilkan oleh mesin dan sistem tersebut. Aktivitas membuka pintu, absensi, membuka komputer, hingga membuat dokumen, membutuhkan verifikasi bahwa kegiatan tersebut dilakukan oleh orang yang tepat. Kebutuhan ini dijawab dengan suatu metode identifikasi yang disebut identifikasi biometrik. Penggunaan identifikasi biometrik membantu peningkatan keamanan sistem komputer dengan menggantikan penggunaan kata kunci (password) yang dapat diretas. Password yang terdiri dari 6 karakter tanpa karakter khusus walau memiliki 2,25 miliar kemungkinan kombinasi, ternyata dapat diretas dalam beberapa detik dengan menggunakan sebuah server komputer. Akun media sosial yang memiliki pengaman yang cukup baik, ternyata banyak yang diretas dan kemudian disalahgunakan. Identifikasi iris dianggap merupakan salah satu metode identifikasi biometrik yang ideal dan lebih stabil karena iris adalah organ internal yang terproteksi oleh kornea. Beberapa kekurangan metode ini ialah pada pengguna kacamata, lensa kontak, atau cadar, serta peminum alkohol.
TORTIKOLIS MUSKULAR KONGENITAL Kawatu, Imelda E.; Angliadi, Engeline
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.3.2013.4334

Abstract

Abstract: Torticollis, or wryneck, is a group of symptoms based on many causes that clinically manifests itself as a crooked or rotated neck. Congenital muscular torticollis is the most common type of congenital torticolllis which occurs in four per 1000 births and one per 300 live births with 75% of these cases on the right side. It was found that 90.1% of plagiocephalic cases incured this torticollis. In this condition, due to contractions of the neck muscles, the head turns and tilts to one side, meanwhile the chin points to the opposite side. Congenital muscular torticollis is caused by a shortening of the sternocleidomastoid muscle due to trauma during labour or abnormal fetal position in utero. Signs and symtoms of congenital muscular torticollis are recognized as early as two months after birth in which the head turns to one side associated with neck muscle hypertrophy, muscle spasm, and a limited range of motion (ROM). The management of congenital muscular torticollis consists of pharmacological, non-pharmacological, and surgical treatments. The prognosis is stated as good if there is a good improvement after 6 months of rehabilitation, but it is stated bad if there is no improvement after 6 months of treatment with a continuation of the asymetrical face. Keywords: congenital muscular torticollis, management   Abstrak: Tortikolis adalah kekakuan leher yang menimbulkan spasme otot yang secara klinis bermanifestasi sebagai leher yang bengkok atau terputar. Tortikolis bukan merupakan suatu diagnosis melainkan kumpulan gejala dengan berbagai gangguan yang mendasarinya. Tortikolis muskular kongenital ialah bentuk yang paling umum dari tortikolis kongenital dengan insiden sekitar 4 per 1000 kelahiran, dan 1 dari setiap 300 kelahiran hidup. Pada tortikolis muskular kongenital terjadi kontraksi otot-otot leher (75% terbanyak pada sisi kanan) yang menyebabkan posisi kepala turn dan tilt ke satu sisi dan dagu mengarah ke sisi yang berlawanan. Penyebab terjadinya tortikolis muskular kongenital ialah pemendekan otot sternokleidomastoid akibat trauma selama proses persalinan, atau posisi bayi dalam kandungan. Umumnya, gejala dan tanda klinis diketahui pada 2 bulan pertama dimana kepala mengarah ke arah sisi sakit, pembesaran otot-otot leher, spasme otot, dan keterbatasan lingkup gerak sendi leher. Penanganan tortikolis muskular kongenital terdiri dari farmakologis, non-farmakologis, dan pembedahan. Prognosis disebut baik bila tercapai hasil yang baik setelah 6 bulan terapi dengan penanganan rehabilitasi, dan memburuk bila tidak terdapat perubahan dalam 6 bulan terapi ditandai oleh wajah yang asimetris. Kata kunci: tortikolis muskular kongenital, penanganan
PAPILA LIDAH DAN KUNCUP KECAP Wangko, Sunny
Jurnal Biomedik : JBM Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.3.2013.4349

Abstract

Lidah merupakan organ muskular yang menonjol ke dalam kavum oris dari permukaan inferior. Otot-otot lidah merupakan otot bercorak seperti otot skelet, dan terdiri dari otot ekstrinsik (mempunyai origo di luar lidah) dan intrinsik (mempunyai origo di dalam lidah). Otot bercorak lidah tersusun dalam berkas-berkas yang berjalan dalam tiga bidang;  masing-masing bidang membentuk sudut  tegak lurus satu dengan yang lain. Hal ini memungkinkan pergerakan lidah dengan fleksibilitas dan  ketepatan tinggi, yang berperan baik dalam proses bicara maupun digesti dan menelan. Permukaan dorsal lidah terbagi atas 2/3 bagian anterior dan 1/3 bagian posterior oleh lekukan berbentuk huruf V, disebut sulkus terminalis. Apeks dari lekukan huruf V mengarah ke posterior dan merupakan lokasi foramen sekum. Pada bagian dorsal lidah terdapat beberapa jenis papila lidah yang berperan dalam fungsi mekanis mengatur makanan dalam kavum oris dan fungsi pengecapan (organ indera).
EOSINOPHILIC ESOPHAGITIS Brief communication and review of the literature Tanus, Tonny
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.3.2013.4340

Abstract

Abstrak: Esofagitis eosinofilik (EoE) merupakan inflamasi alergik pada esofagus yang secara klinis ditandai oleh gejala refluks, gangguan pencernaan, disfagia, nyeri perut kronis dengan kekambuhan sporadik, mual dan muntah. Sebagai penyebabnya ialah kondisi alergik terhadap alergen yang berasal dari makanan, lingkungan, atau keduanya. Dinding esofagus dipadati sangat banyak eosinofil. Kami melaporkan dua kasus EoE yaitu seorang laki-laki berusia 30 tahun dan seorang anak laki-laki berusia 11 tahun. Pemeriksaan yang dilakukan ialah esofagogastroduodenoskopi, biopsi, dan uji alergi. Diagnosis EoE ditegakkan oleh adanya eosinofil pada biopsi, dengan baku emas 15 eosinofil per lapangan pandang besar (LPB). Penelitian akhir-akhir ini mengajukan 5-7 eosinofil per LPB. Patologi EoE diduga diinduksi oleh makanan, kacang-kacangan, telur, dan kacang kedelai. Pengobatan yang diberikan ialah steroid topikal seperti fluticasone atau budesonide, dan proton pump inhibitors. Studi lanjut dibutuhkan untuk mengeksplorasi pengaruh pengobatan alergi lainnya, seperti cromolyn, allergen specific immunotherapy/desensitization, dan biological targeting eosinophils, antara lain anti IL-5. Menghindari alergen dan intervensi diet harus dilakukan serentak. Simpulan: Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan, diagnosis pasien-pasien ini ialah esofagitis eosinopfilik. Tantangan yang dihadapi ialah menentukan atau membuktikan alergen kausatif. Pengobatan ditujukan pada menghindari alergen, serta pemberian steroid inhalasi topikal dan proton pump inhibitors. Kata kunci: esofagitis eosinofilik, perkembangan alergi, pengobatan alergi, eosinofil, alergi makanan.   Abstract: Eosinophilic esophagitis (EoE), clinically manifested with reflux symptoms, indigestion, dysphagia, chronic abdominal pain with sporadic flare ups, nausea and vomiting, is an inflammation of the esophagus, where the wall of the esophagus is congested with an abundance of eosinophils. The etiology of this EoE is the allergic condition to allergens derived from food, environment, or both. We reported two cases of EoE, a 30-year-old man and an 11-year-old boy. Their work up was comprised of esophagogastroduodenoscopy, biopsies, and allergy testing. The key to diagnosing EoE is the evidence of eosinophils in a performed biopsy, the gold standard being 15 eosinophils per high power field (eos/hpf). Recent studies suggest decreasing the standard to 5-7 eos/hpf. The pathology of EoE is thought to be induced by food and environmental allergens; the most causative food allergens in EoE would be cow’s milk, nuts, eggs, and soy. The treatments typically employ topical steroids, such as Flovent (fluticasone) or Pulmicort (budesonide), and proton-pump inhibitors. More research is needed to explore the efficacy of other allergy treatments, such as cromolyn, allergen specific immunotherapy/desensitization, and biological targeting eosinophils, such as anti IL-5. Allergens avoidance and dietary intervention should be concomitantly used. Conclusion: Based on all the tests performed, the diagnosis of the patients was eosinophilic esophagitis. The challenge is to be able to determine or prove the causative allergens. Treatment usually includes avoidance of allergens, topical inhaled steroids, and proton-pump inhibitors. Keywords: eosinophilic esophagitis, allergy work up, allergy treatment, eosinophils, food allergy.

Page 1 of 2 | Total Record : 18


Filter by Year

2013 2013


Filter By Issues
All Issue Vol. 14 No. 2 (2022): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 13, No 3 (2021): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 13, No 2 (2021): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 13, No 1 (2021): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 12, No 3 (2020): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 12, No 2 (2020): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 12, No 1 (2020): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 11, No 3 (2019): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 11, No 2 (2019): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 11, No 1 (2019): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 10, No 3 (2018): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 10, No 2 (2018): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 10, No 1 (2018): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 9, No 3 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 9, No 2 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 9, No 1 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 9, No 1 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 8, No 3 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 8, No 2 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 8, No 2 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 8, No 1 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 7, No 3 (2015): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 7, No 3 (2015): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 7, No 2 (2015): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 7, No 1 (2015): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 6, No 2 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Juli 2014 Vol 6, No 1 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Maret 2014 Vol 6, No 3 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 6, No 3 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 5, No 2 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 5, No 1 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 5, No 1 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 4, No 3 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 4, No 3 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 4, No 2 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 4, No 1 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 3, No 3 (2011): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 3, No 2 (2011): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 3, No 1 (2011): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 2, No 3 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 2, No 2 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 2, No 1 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 1, No 3 (2009): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 1, No 2 (2009): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 1, No 1 (2009): JURNAL BIOMEDIK : JBM More Issue